Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara Terus Digodok Pemerintah, Ini 3 Dampak Fatal Terhadap Lingkungan Jika Terealisasi

oleh -
Ilustrasi gedung di ibu kota negara nantinya. (Ist)

Lentera Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi UU dalam rapat Paripurna DPR RI ke-13 masa persidangan III tahun sidang 2021-2022, pada Selasa (18/1/2022).

Dengan begitu, proses pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) bisa dilaksanakan.

RUU IKN ini diproses super cepat hanya sekitar 40 hari sejak pertama kali anggota Panitia Khusus RUU IKN ditetapkan pada 7 Desember 2021.

Berdasarkan laporan Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN, 8 fraksi yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat, PAN, PKB, PPP, dan PKB menyetujui RUU IKN menjadi UU. Sementara Fraksi PKS tidak setuju hasil pembahasan RUU IKN.

Baca: Real Madrid Berduka, Paco Gento Meninggal di Usia ke 88 Tahun Hari ini

Namun, rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dinilai akan menimbulkan beberapa kerusakan terhadap lingkungan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan, kerusakan itu ditimbulkan berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) jika IKN tetap dipaksakan.

Pertama, ancaman terhadap tata air dan resiko perubahan iklim karena sistem hidrologi yang terganggu dan telah ada catatan air tanah yang tidak memadai.

“Wilayah tangkap air terganggu. Risiko terhadap pencemaran air dan kekeringan. Sumber air bersih tidak memadai sepanjang tahun, ketidakmampuan pengelolaan air limbah yang dihasilkan dari IKN dan pendukungnya,” kata Sawung, Rabu (19/1/2022).

Selain itu, tingginya konsesi tambang di lokasi IKN juga berpengaruh pada sistem hidrologi dan biaya ekonomi terhadap pemanfaatan air akan meningkat.

Kedua, pemindahan IKN juga berdampak pada pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti meningkatkan resiko kebakaran hutan, pencemaran minyak, penurunan nutrein pada kawasan pesisir dan laut, lubang tambang yang tidak ditutup mencemari air tanah, hingga menghambat jalur logistik masyarakat.

“Lebih dari 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan akan berdampak serius. Jumlah tersebut terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, 2.984 nelayan di 5 Kelurahan Maridan, Mentawir, Pantai Lango, Jenebora, Gresik dari Kabupaten Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Balikpapan,” tutur Sawung.

Baca: Muhammad Rudi Tinjau Proyek Pelebaran Jalan dan Pembangunan Drainase DAM Baloi

Ketiga, pemindahan Ibu Kota Negara baru juga mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna, padahal mereka berfungsi menjaga ekosistem.

“Tekanan terhadap habitat Satwa liar pada akhirnya akan meningkatkan resiko konflik satwa dan manusia. Diantara kasus yang sudah muncul adalah buaya,” jelasnya.

Pembangunan IKN juga akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektar.

Wahli juga melihat, kehadiran IKN semakin memperparah bencana ekologis dan merampas wilayah kelola rakyat.

“Banjir yang terjadi pada wilayah ring satu IKN pada akhir 2021, mempertegas wilayah tersebut tidak layak berdasarkan KLHS menjadi lokasi IKN,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Walhi mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan semua tindakan dan kebijakan dalam penetapan Ibu Kota Negara. (red)

Sumber: suara.com